Kasus demi kasus tidak pernah berhenti menerpa para pejabat ‘terhormat di negeri ini’. Sepertinya dan memang benar bahwa Indonesia telah salah dalam mengadopsi sebuah sistem untuk kesejahteraan rakyatnya. Justru sebaliknya, ketidakadilan terus terjadi. Para pejabat semakin terlihat bertambah jiwa kerakusan dan rakyat semakin dimiskinkan. Bukan sekedar anggota parlemen yang rakus, tapi sistemnya memang rakus.
Diawali saat caleg harus berinvestasi untuk menjadi anggota dewan dari angka Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 5 milyar – Rp 10 milyar, sebuah angka yang sangat mahal. Bahkan dikabarkan ada yang sudah berinvestasi Rp. 5 milyarpun akhirnya malah tidak jadi. Seharusnya kita berpikir, apa orientasi pertama anggota dewan setelah mereka benar-benar jadi. Kalau tidak untuk mengembalikan uang investasinya dulu.
Sepertinya menjadi wajar jika mereka melakukan banyak modus untuk bisa mendapatkan kembali nilai investasi yang sudah ditanamkan. Dari mulai menjadi calo proyek, menjadi penentu alokasi-alokasi anggaran, menjadi broker, dll. Mau kita kritik sepedas apapun sepanjang paham politiknya adalah neoliberal seperti sekarang, kita tidak jalan menghentikan mereka.
Pergantian anggota parlemen akan sama saja sepanjang pahamnya neoliberal. Paham inilah yang mengajarkan bahwa jabatan adalah investasi financial. Dan ini sedang diterapkan secara massif oleh pemerintah kita.
Kita bisa melihat bahwa rata-rata gaji mereka Rp. 62 juta, bahkan lebih. Menjabat selama lima tahunpun belum tentu bisa mengembalikan nilai invetasi mereka saat mencalon. Maka wajar kerakusan muncul, apalagi sistem ini memberikan kesempatan itu. Dilain sisi, ‘kerjasama jamaah’ dengan anggota, elemen pemerintah dan partai yang ada juga sepertinya terkondisikan mendukung, maka wajar jika sering terdengar bahwa dalam setiap kasus pasti melibatkan bukan hanya satu atau dua orang.
Nah, kalau begitu yang harus kita ‘ganyang’ bukan sekedar anggotanya yang rakus, tetapi sistem yang rakus ini. Inilah gambaran sistem kapitalisme-materialis yang diterapkan di Indonesia. yang dalam ranah politik sering kita mnyebutnya demokrasi.
JADI GANTI REZIM GANTI SISTEM
Anehnya sistem ini selalu didengung-dengungkan sebagai sistem yang paling baik untuk pemerintah. Berarti ada satu PR lagi yang harus kita tuntaskan. Yaitu bagaimana menjelaskan definisi dan substansi sebenarnya dari sistem demokrasi-kapitalis-sekular ini agar jelas di masayarakat. Nantikan tulisan selanjutnya ‘perbedaan penafsiran demokrasi sebenarnya di Indonesia’.
By Fikri
[News Opini]
0 comments:
Post a Comment